Politik Mercusuar: Upaya Soekarno Membuat Indonesia Menjadi Kekuatan Baru Dunia

Soekarno dan Politik Mercusuar
Daftar Isi Artikel

Jakarta pada awal tahun 1960an tidak terlepas dari aktivitas pembangunan. Mesin konstruksi bekerja siang malam, melakukan pembangunan. Di tengah krisis ekonomi yang menggerogoti, di saat utang luar negeri menggunung, dan di tengah ketidakstabilan politik dalam negeri, Soekarno memilih untuk mengejar ambisi, menantang logika, dan mengubah wajah ibu kota secara drastis.

Pembangunan yang tengah berjalan ini, bukan sekedear membangun gedung, tapi ini adalah sebuah proklamasi. Proklamasi bahwa Indonesia, sebuah bangsa yang baru seumur jagung lepas dari belenggu kolonialisme, memiliki martabat, kemandirian, dan kekuatan untuk memimpin tatanan dunia yang baru. Inilah esensi dari “Politik Mercusuar,” sebuah strategi luar negeri yang jauh melampaui diplomasi biasa, sebuah langkah untuk mewujudkan gagasan besarnya: “To Build the World A New”.

Demokrasi Terpimpin dan Visi NEFOS: Pondasi Politik Mercusuar

Periode 1959 hingga 1966, yang dikenal sebagai Era Demokrasi Terpimpin, menjadi latar belakang utama bagi dicetuskannya Politik Mercusuar. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil alih peran sentral dan memegang kekuasaan tertinggi sebagai pemimpin tunggal negara. Perombakan sistem pemerintahan ini didorong oleh krisis yang berkepanjangan dan ketidakstabilan dalam sistem demokrasi parlementer sebelumnya.

Di bawah sistem ini, politik luar negeri tidak lagi sekadar menjalin silaturahmi antarnegara. Soekarno menjadikannya sebuah upaya untuk memperluas pengaruh dan menciptakan hal baru di tengah kondisi negara yang masih rapuh. Tujuannya jelas: Indonesia harus dikenalkan pada dunia internasional sebagai negara berkembang yang mampu berproses dan menjalin persaudaraan yang saling menguntungkan.

Konsep Politik Mercusuar

Politik Mercusuar adalah strategi yang dicetuskan Soekarno dengan ambisi utama: menjadikan Indonesia sebagai poros yang dapat menerangi jalan bagi negara-negara berkembang lainnya, yang ia sebut NEFOS (New Emerging Forces). Kekuatan baru ini akan menggalang negara-negara yang baru merdeka, menjadi kekuatan alternatif.

Visi ini berakar pada keyakinan Soekarno bahwa abad ke-20 ditandai oleh tiga revolusi besar: penegasan diri nasionalisme di Asia, Afrika, dan Amerika Latin; kebangkitan negara-negara sosialis; serta revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Revolusi-revolusi ini bertujuan menggantikan tatanan dunia lama yang ditandai oleh eksploitasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis dan kapitalis.

Soekarno membagi dunia menjadi dua kubu ideologis:

  1. NEFOS (New Emerging Forces): Kelompok kekuatan baru yang terdiri dari negara-negara yang baru merdeka, negara-negara sosialis Eropa, serta negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka adalah kekuatan yang berjuang untuk dunia baru.
  2. OLDEFO (Old Established Forces): Kelompok kekuatan lama, yang dicap sebagai pihak yang selalu menimbulkan bahaya bagi keamanan global karena berupaya mengendalikan negara-negara NEFOS.

Politik Mercusuar, melalui proyek-proyek spektakuler, berfungsi sebagai upaya untuk:

  1. Meningkatkan Gengsi Internasional: Membuktikan bahwa Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka, dapat berdiri mandiri dan setara dengan negara-negara maju yang memiliki landmark agung. Indonesia tidak kalah dengan negara-negara besar lain yang memiliki Coloseum, Menara Eifel dan banyak gedung-gedung ikonik lain.
  2. Perwujudan Visi Presiden Soekarno: Soekarno berupaya untuk membawa Indonesia tampil dalam percaturan dunia internasional. Selain sebelumnya Indonesia aktif dalam Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, Soekarno juga berupaya membawa Indonesia menjadi pemimpin dalam pergaulan dunia internasonal.
  3. Menarik Simpati dan Kerja Sama: Menarik simpati negara-negara lain untuk bekerja sama dengan Indonesia.

Pada dasarnya, proyek-proyek fisik ini adalah strategi diplomatik. Soekarno, sebagai sosok yang menyukai simbol-simbol agung, menuangkan ambisi politiknya ke dalam wujud beton dan baja untuk membuat dunia kagum.

Gema Pembangunan: Asian Games IV 1962 dan Proyek Politik Mercusuar

Strategi Mercusuar ini diimplementasikan pertama kali melalui pembangunan besar-besaran di Jakarta dalam rangka menyambut Asian Games ke-IV pada tahun 1962

Pembangunan Monumental Jakarta Bagian dari Politik Mercusuar

Awalnya, keinginan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Asian Games sempat ditolak dua kali, terutama karena kondisi perekonomian dan keamanan negara yang dinilai belum stabil. Namun, semangat pantang menyerah Soekarno tak tersulut rasa pesimis. Begitu Indonesia terpilih, pembangunan gencar dilakukan untuk memperbaiki infrastruktur Jakarta sebagai wajah utama bangsa.

Proyek-proyek yang digagas di era ini, yang kemudian dikenal sebagai “Proyek Mercusuar,” antara lain:

  1. Kompleks Gelora Bung Karno (GBK): Pembangunan stadion besar yang menjadi pusat kegiatan Asian Games.
  2. Hotel Indonesia: Hotel bintang lima pertama di Indonesia, simbol kemewahan dan kesiapan menerima tamu internasional.
  3. Jembatan Semanggi: Infrastruktur vital untuk memperlancar mobilisasi di ibu kota.
  4. Monumen Nasional (Monas) dan Monumen Selamat Datang: Simbol kebanggaan nasional yang didirikan untuk memperlihatkan kekuatan bangsa yang baru merdeka.
  5. Gedung DPR/MPR dan Pusat Perbelanjaan Sarinah.

Pembangunan ini, yang diselesaikan dalam waktu persiapan yang sangat singkat (hanya dua tahun) , menjadi tonggak penting dalam eksistensi Indonesia di kancah internasional. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Asian Games IV berhasil menarik simpati internasional dan meningkatkan posisi Indonesia dalam perhitungan politik dunia.

Konflik Taiwan dan Israel: Sport di Bawah Komando Politik Mercusuar

Kisah paling dramatis dari Asian Games IV adalah bagaimana acara olahraga ini berubah menjadi panggung diplomasi konfrontatif yang menegaskan sikap politik luar negeri Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan kebijakan anti-kolonialisme dan imperialisme, pemerintah Indonesia dengan tegas tidak mengizinkan delegasi dari Taiwan (Republik Tiongkok) dan Israel untuk berpartisipasi dalam Asian Games 1962. Sikap ini didasarkan pada prinsip politik bebas aktif Indonesia yang memihak pada perjuangan negara-negara Asia-Afrika yang masih belum merdeka dan menentang segala bentuk imperialisme.

Konsekuensinya sangat besar. Dewan Olimpiade Asia (OCA) dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) menganggap tindakan Indonesia sebagai pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip olahraga internasional yang bebas dari politik. Hubungan Indonesia dengan IOC memburuk, begitu pula hubungan dengan Blok Barat (OLDEFO) yang dianggap kurang baik karena konflik ini. Bahkan, hubungan Indonesia dengan India, sebagai negara asal OCA, turut merenggang.

Bagi Soekarno, peristiwa ini adalah momentum. Ia tidak mundur. Sebaliknya, ia melihat konflik ini sebagai bukti nyata bahwa organisasi olahraga internasional seperti IOC didominasi oleh kekuatan lama (OLDEFO) yang berusaha menekan negara-negara baru.

GANEFO: Olahraga sebagai Manifes Kekuatan Baru 1963

Konflik dengan IOC pasca-Asian Games IV tidak melemahkan Indonesia. Justru, hal itu melahirkan sebuah terobosan politik luar biasa yang dikenal sebagai The Games of the New Emerging Forces (GANEFO).

gemini generated image uh8u3wuh8u3wuh8u

Melahirkan Tandingan Olimpiade Strategi Politik Mercusuar

Pada tahun 1963, Presiden Soekarno mendirikan GANEFO sebagai kompetisi tandingan yang menentang eksistensi IOC. Ini adalah cara Soekarno mewujudkan gagasan “To Build the World A New” melalui jalur olahraga.

GANEFO I diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1963. Acara ini bukan sekadar pesta olahraga, melainkan sebuah manifestasi politik yang nyata. Olahraga digunakan secara eksplisit oleh Indonesia untuk memajukan tujuan politik negara, terutama untuk memperkuat persahabatan dan perdamaian global di antara negara-negara NEFOS.

Soekarno mendefinisikan ’emerging force’ sebagai “semua kekuatan baru di dunia yang berjuang dan bekerja untuk sebuah dunia baru.”. Dengan GANEFO, Soekarno berhasil menggalang negara-negara baru ke dalam satu kelompok ideologis yang sama, menciptakan forum di mana generasi muda NEFOS dapat bertemu dan berinteraksi.

Penyelenggaraan GANEFO I di Jakarta menuai sukses besar bagi pemerintah Indonesia. Secara tidak langsung, hal ini berhasil meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata masyarakat dunia sebagai pemimpin kekuatan baru yang berani menantang hegemoni OLDEFO. Ini adalah puncak dari Politik Mercusuar—Indonesia benar-benar menjadi suar (mercusuar) yang menerangi jalan bagi negara-negara berkembang lainnya di Asia-Afrika.

Dinamika Hubungan Luar Negeri Era Politik Mercusuar

Strategi Mercusuar ini juga mengubah lanskap hubungan diplomatik Indonesia. Soekarno secara gencar menjalin hubungan dengan negara-negara kelompok NEFOS—negara Asia-Afrika, negara sosialis, dan negara Arab—melalui ajang GANEFO.

Di sisi lain, akibat sikap konfrontatif terhadap IOC, hubungan dengan Blok Barat semakin tegang. Indonesia justru mendapat bantuan signifikan dari Uni Soviet dalam berbagai proyek pembangunan, yang menunjukkan semakin harmonisnya hubungan dengan Blok Timur. Strategi ini adalah upaya nyata untuk melancarkan tujuan akhir Soekarno: menjadikan Indonesia poros dunia baru yang damai dan sejahtera.

Refleksi dan Kesimpulan dari Politik Mercusuar

Era Politik Mercusuar yang megah ini akhirnya terpaksa kandas pada tahun 1965. Ketidakstabilan politik dalam negeri yang memuncak (terutama pasca Gerakan 30 September) berdampak langsung pada kekuasaan Soekarno. Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 menandai peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. GANEFO yang telah dikembangkan dengan kuat pun terpaksa berakhir seiring dengan perubahan rezim.

Kini, setelah melintasi sejarah yang penuh gejolak tersebut, kita kembali pada pertanyaan kunci yang tersemat pada masa itu: Apakah Proyek Mercusuar merupakan langkah politik kenegaraan yang strategis ataukah cerminan keegoisan Soekarno?

Studi sejarah memberikan dua sudut pandang yang kontras dan kompleks:

  1. Ditinjau dari Segi Sosial, Ekonomi, dan Politik Kontemporer:
    Pada masa itu, ketika kondisi perekonomian Indonesia berada di ambang kesulitan dengan inflasi dan kekurangan pangan, pembangunan proyek-proyek kolosal justru dinilai sebagai keegoisan yang diambil Soekarno. Sumber daya negara dihabiskan untuk proyek-proyek showcase alih-alih untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara langsung. Kritikus melihatnya sebagai upaya Soekarno untuk memenangkan pertarungan gengsi internasional (ambisi pribadi) di atas kepentingan domestik.
  2. Ditinjau dari Segi Persatuan, Kesatuan, dan Nasionalisme: Di sisi lain, Proyek Mercusuar dinilai sebagai strategi luar biasa dalam proses perkembangan bangsa Indonesia. Proyek-proyek tersebut berhasil menanamkan rasa nasionalisme dan harga diri yang tinggi di tengah rakyat. Bagi negara yang baru merdeka, simbol-simbol agung seperti Monas dan GBK adalah penegasan jati diri dan bukti bahwa bangsa ini mampu membangun. Politik Mercusuar adalah langkah awal yang efektif dalam mewujudkan cita-cita bangsa untuk mensejahterakan masyarakatnya melalui pengakuan dan kehormatan di mata dunia.

Registrasi dan Login

Untuk mengakses kursus secara penuh, registrasikan dirimu di sini!

Mulai Belajar di Tamansiswa.id