Pemikiran Soe Hok Gie bagi Nusa Bangsa

Daftar Isi Artikel

Pemikiran dan gagasan dari Hok Gie memiliki fokus kepada tiga hal utama, hal kebangsaan, hal kemahasiswaan dan hal kemanusiaan. Dalam catatan harian dan berbagai tulisan di surat kabar, ketiga hal ini selalu menjadi topik utama gagasan Hok Gie. Hal kebangsaan menyangkut pemikiran yang berhubungan dengan politik dan kekuasaan. Hal kemahasiswaan kebanyakan menyangkut aktivitas di kampus dan pergerakan mahasiswa 1966. Hal kemanusiaan berkaitan dengan segala hal yang menyangkut hak asazi, kepentingan publik.

Pemikiran Soe Hok Gie tentang Kehidupan Kebangsaan

Dalam hal kebangsaan salah satu pemikiran Hok Gie yang paling awal diutarakan adalah perlunya regenerasi pemimpin di Indonesia. 

“Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua.. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang gigih. Tetapi kini mereka telah mengkhianati apa yang diperjuangkan.  Generasi baru yang hidup di zaman setelah kemerdekaan sudah waktunya mengambil tampuk kekuasaan dari generasi tua. Generasi-generasi baru adalah generasi yang memiliki semangat tinggi untuk membangun negara. Generasi yang baru akan menjadi hakim atas mereka yang dituduh korupsi, dan generasi ini pula yang akan memakmurkan Indonesia”. 

Pemikiran ini timbul ketika Hok Gie menemukan realita di sekitarnya, di mana banyak rakyat sengsara sedangkan para pemimpin hidup bermewah-mewahan. Perlunya regenarasi terhadap pemimpin Indonesia menurut Hok Gie mengacu dari keadaan moral para pemimpin saat itu. Dalam pandangannya, beberapa pemimpin tertinggi bangsa hidup dengan tata cara yang jauh dari seharusnya.

Hok Gie memiliki pemikiran tentang sebuah generasi baru. Generasi yang lahir sesudah kemerdekaan, yang tumbuh besar dalam suasana kebangsaan yang bebas dan merdeka. Generasi baru adalah generasi yang lahir sesudah tahun 1945 yang kemudian akan menjadi manusia-manusia baru Indonesia. Manusia-manusia baru ini tumbuh dalam optimisme-optimisme pembangunan. Generasi yang memiliki cita-cita tinggi dalam pendidikan, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya.

Ketidaksukaan terhadap pemerintah, Soekarno dan menteri-menterinya mendorong Hok Gie terlibat dengan Gerakan Pembaruan. Gerakan Pembaruan atau GP merupakan gerakan bawah tanah yang bertujuan melengserkan pemerintahan presiden Soekarno. GP dikendalikan oleh Soemitro Djoyohadikusumo yang merupakan lawan politik Soekarno. GP bergerak secara tersembunyi, dengan agenda utama menginfiltrasi berbagai lapisan masyarakat dengan ide-ide revolusioner untuk melengserkan pemerintah orde lama.

Hok Gie banyak menyebarkan selebaran-selebaran yang berisi tentang manifesto-manifesto politiknya yang menentang pemerintahan Soekarno. Menuliskan kritiknya secara terbuka, menyelenggarakan diskusi-diskusi politik dan menyebarkan gagasan-gagasannya secara luas.  Dari aktivitas di GP inilah Hok Gie kemudian mulai dikenal di kalangan aktivis mahasiswa, politisi partai, kalangan militer, dan lain sebagainya. Hok Gie juga mulai rajin menulis opini dan artikel artikel yang berisi permasalahan kebangsaan dan pandangan pribadinya.

Soe Hok Gie dan Pemikiran Integrasi Masyarakat Tionghoa dalam Kehidupan Bangsa

Permasalahan etnis Cina di Indonesia tidak luput dari perhatian Soe Hok Gie. Secara umum etnis China di Indonesia memiliki dua pokok permasalahan. Permasalahan kewarganageraan yang tidak jelas serta persaingan perekonomian dengan pribumi. Masalah kewarganegaraan ganda menjadi masalah yang rumit mengingat permasalahan ini membutuhkan penyelesaian dari kedua negara, Republik Rakyat Cina dan Republik Indonesia. Permasalahan ekonomi muncul akibat penetrasi kegiatan ekonomi masyarakat etnis cina hampir di semua sektor.

Dari dua pokok permasalahan di atas, muncul perdebatan di kalangan masyarakat etnis Cina dalam mencari solusi. Salah satu perdebatan terkemuka lahir dari sebuah majalah bernama Star Weekly. Perdebatan ada di sekitar cara masyarakat keturunan cina menempatkan diri di tengah kehidupan berbangsa. Ide integrasi dan ide asimilasi merupakan dua ide yang ramai diperdebatkan di kalangan masyarakat etnis Cina. Dari perdebatan di majalah tersebut mucul dua sikap dari masyarakat etnis Cina, mendukung asimilasi atau mendukung integrasi.

Ide integrasi adalah proses masuknya masyarakat etnis Cina ke dalam masyarakat Indonesia sebagai etnis minoritas yang berbeda, dengan mempertahankan identitas sosial dan kultural sebagai suku bangsa tersendiri dengan adat istiadat sendiri. Ide integrasi berpendapat bahwa hak-hak individu masyarakat etnis Cina sebagai etnis tersendiri harus dibela dari berbagai tindak pelanggaran. Ide asimilasi berarti proses melebur masyarakat Cina ke dalam masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Asimilasi menjadikan identitas nasional bangsa Indonesia sebagai identitas tunggal.

Langkah memperjuangkan asimilasi dimulai dari penandatangan Manifesto Asimilasi pada 1960. Disusul penerbitan Piagam Asimilasi pada tahun 1961. Pada tahun 1962 dibentuk badan Urusan Pembinaan Kesatuan Bangsa (UPKB) yang didukung oleh Angkatan Bersenjata sebagai lawan dari Baperki yang didukung kekuatan komunis. LPKB dibentuk tahun 1963 setelah pihak-pihak yang nenyuarakan ide asimilasi mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Pada tanggal 10-12 Maret diadakan Musyawarah Asimilasi yang kemudian mengumumkan pembentukan LPKB. Shindunata terpilih sebagai ketua kepemimpinan pusat organisasi ini. 

Soe Hok Gie dan Pemikiran Perihal Gerakan Mahasiswa dan Aksi Demonstrasi

Dalam aksi demonstrasi mahasiswa 1966, Hok Gie memiliki pemikiran tentang alasan mengapa mahasiswa harus ikut bergerak dalam aksi demonstrasi, dan bagaimana seharusnya demonstrasi berjalan. 

“..pengganyangan PKI harus identik dengan perbaikan ekonomi. Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi maka akan terjadi chaos. Lebih baik kalau mahasiswa yang bergerak”.

Pemikiran ini merupakan jawaban dari tindakan kabinet pemerintahan Soekarno yang menggunakan cara-cara ekonomi lewat beberapa kebijakan ekonomi untuk mengalihkan perhatian rakyat dari aksi pengganyangan PKI. Keadaan ekonomi yang kacau akan membuat rakyat tak terkendali. Karena alasan inilah sudah seharusnya mahasiswa mengambil alih tindakan, bergerak untuk rakyat.

Dalam aksi demonstrasi tahun 1966, Hok Gie menekankan pentingnya sifat gerakan yang harus tetap terjaga. Aksi demonstrasi mahasiswa merupakan gerakan moral yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kewajiban untuk bertindak. Aksi demonstrasi bukan merupakan gerakan politik semata yang berusaha melengserkan kekuasaan Presiden Soekarno dan PKI. Dari pemikiran inilah Hok Gie mengingatkan pada semua mahasiswa terutama para pemimpin gerakan mahasiswa untuk tidak lupa pada arah perjuangan mereka dalam melakukan aksi demonstrasi.

“Seorang cowboy datang ke sebuah kota dari horison yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Cowboy ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah banditnya mati penduduk kota yang ingin berterima kasih dengan memberi hadiah mencari sang cowboy. Tetapi ia telah pergi ke horison yang jauh, ia tidak ingin pangkat-pangkat atau sanjungan”.
“Demikian pula mahasiswa. Ia turun ke jalan karena terdapat “bandit-bandit PKI Soekarno-Soebandrio” yang sedang menteror penduduk, merampok kekayaan rakyat dan mencemarkan wanita-wanita terhormat. Mahasiswa ini menantangnya berduel dan menang. Setelah ia menang ia balik lagi ke bangku-bangku kuliah, sebagai mahasiswa yang baik. Ia tidak ingin mengeksploitir untuk dapat rezeki-rezeki”.

Pemikiran ini muncul untuk menanggapi kabar bahwa beberapa figur pemimpin aksi demonstrasi mahasiswa, terutama pemimpin-pemimpin KAMI ditawari jabatan sebagai anggota legislatif. Cara-cara ini tentu saja ditolak oleh Hok Gie, sebab para pemimpin mahasiswa tersebut mendapat tawaran duduk sebagai anggota legislatif sebagai wakil dari unsur mahasiswa. Hok Gie tidak setuju jika tindakan tersebut mengatasnamakan unsur mahaiswa. Penolakan Hok Gie disampaikan tidak hanya lewat berbagai tulisan di media massa, tapi juga melalui saluran Radio Ampera

Radio Ampera adalah radio perjuangan mahasiswa yang dikumandangkan sebagai reaksi dari sikap media-media yang ada pada saat itu. Media tidak berani menayangkan berita atau pandangan-pandangan yang menyerang pemerintahan Soekarno dan kabinet-kabinetnya. Radio ini merupakan kerjasama mahasiswa-mahasiswa teknik dari Bandung sebagai teknisi dan mahasiswa-mahasiswa dari UI sebagai redaksi. Siaran-siaran Radio Ampera banyak menyerang Presiden Soekarno dan menteri-menterinya, Sesuai dengan semangat gerakan moralnya, Radio Ampera membubarkan diri begitu pemerintahan baru terbentuk.

Pemikiran-pemikiran Soe Hok Gie mengenai isu kemahasiswaan dan pergerakannya banyak dimuat di berbagai surat kabar. Beberapa diantaranya adalah Harian Kompas, surat kabar Mahasiswa Indonesia, harian KAMI, suarat kabar Sinar Harapan, surat kabar Djaya, surat kabar Indonesia Raya, dan sebagainya. Selain melalui saluran surat kabar, saluran radio dan diskusi juga digunakan Hok Gie. Diantaranya lewat Radio Ampera dan Radio UI, serta lewat Grup Diskusi UI.

Pemikiran Soe Hok Gie dalam Ranah Kemanusiaan dan Hak Asazi Manusia

Jatuhnya orde lama yang diikuti dengan naiknya orde baru membawa berbagai konsekuensi-konsekuensi bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pembubaran PKI dan pelarangan paham komunis mengakibatkan banyaknya tahanan politik pasca peristiwa G30S 1965. Tindakan pembersihan orang-orang yang terlibat G30S oleh RPKAD di berbagai daerah juga menelan banyak korban jiwa. Soe Hok Gie bisa dikatakan merupakan orang pertama yang menyuarakan kritiknya terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak asazi manusia ini.

Hok Gie adalah seorang anti komunis, dalam hal ini sikap antinya ditujukan kepada PKI dalam berbagai langkah politiknya. Jauh sebelum peristiwa G30S 1965, Hok Gie sudah menunjukkan sikap antinya. Hok Gie bergabung dengan LPKB dan Gemsos serta GP, di mana keduanya merupakan rival PKI dalam hal pertarungan ideologi. Tetapi sikap antipatinya tidaklah membabi buta. Ketika terjadi pembunuhan massal orang-orang yang diduga terlibat PKI dan G30S, Ia tak segan menyuarakan suara pembelaan yang berangkat dari dasar kemanusiaan. 

Pembunuhan massal, bukanlah langkah yang efektif untuk menghancurkan kekuatan PKI di Bali. Hok Gie tidak menyetujui langkah perlawanan terhadap G30S dengan melakukan kebiadaban yang sama seperti yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam G30S. Pembunuhan massal seperti yang terjadi di Bali memiliki konsekuensi luar biasa yang tidak hanya dirasakan generasi saat ini tapi juga generasi medatang. Banyaknya janda-janda akibat suami mereka dibunuh, anak yang menjadi yatim, dan banyak lagi akibatnya.

Pembunuhan massal ini seharusnya dapat dicegah apabila pemerintah, dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memiliki inisiatif. Inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan pemberantasan PKI dengan cara cara damai dan mencegah cara-cara kekerasan. Pemerintah dan militer terkesan membiarkan peristiwa pembunuhan ini berlarut larut. Pembunuhan massal di Bali ini justru dimanfaatkan oleh pejabat-pejabat di Bali untuk melakukan cuci tangan terhadap permasalahan pengganyangan PKI di Bali.

Selain peristiwa pembunuhan massal di berbagai daerah, Hok Gie juga menyoroti permasalahan kemanusian yang timbul dari upaya pemberantasan PKI. Masalah yang paling utama adalah banyaknya tahanan politik dan diskriminasi lewat kebijakan surat bebas G30S kepada orang-orang yang terlibat G30S 1965. Dua permasalahan ini menjadi permasalahan yang serius karena menyangkut hak asazi manusia. Hok Gie sendiri memiliki pengalaman pribadi mengenai diskriminasi yang dialami berkaitan dengan surat bebas G30S.

Registrasi dan Login

Untuk mengakses kursus secara penuh, registrasikan dirimu di sini!

Mulai Belajar di Tamansiswa.id